'Wibu' yang Culun dan Jelek dan Mendatangkan Uang
Sejak kapan kita tidak punya kemampuan untuk keluar dari pola konsumtif yang ditawarkan raksasa-raksasa industri kebudayaan populer?
Dahulu masa sekolah menengah, seorang kawan tiba-tiba ‘meminjam’ handphone saya, Nokia E63 jadul di zaman Android awal, untuk mendengarkan ‘musik aneh’ yang didengarkan waktu itu. Nemesis of the Lost Kingdom, judulnya, dengan vokal dari penyanyi virtual elektronik, dengan produser Hitoshizuku-P. Itu adalah kali pertama saya merasakan perbedaan ‘orang normal’ dengan ‘penyuka jejepangan’: ia jelas ingin mendengarkan betapa anehnya lagu yang saya sukai, dibandingkan ‘lagu biasa’ yang didengarkan orang pada umumnya
.
Ya tidak salah, siapa juga yang suka dengar Hatsune Miku kecuali memang tertarik dengan suara virtual nada tinggi dan ‘elektrik’—kebalikan dari suara manusia yang familiar. Cuma ya, pada waktu itu, mau denial atau tidak, sulit untuk menghindari perbedaan ‘otaku’ dan ‘orang biasa. Kadang-kadang dianggap biasa, tapi biasanya ada ‘susunan’-nya. Buat orang biasa, otaku ini anak kelas yang tidak punya sirkel, culun, mungkin rajin belajar, tapi yang jelas tidak pernah nongkrong, tidak menarik secara fisik, tidak pacaran, dan kelakuannya aneh. Buat otaku, orang-orang biasa atau normies ini orang-orang sok asik dan sok keren dengan selera basic dan tidak akan paham kalau anime, manga, dan game itu keren banget.
Yah, cuma, seiring berjalannya waktu, situasi seputar orang-orang ‘terasingkan’ ini semakin aneh sekaligus semakin ‘serius’. Skripsi bertema anime, manga, atau novel visual mulai bermunculan. Figur-figur publik mulai menggunakan desain grafis bergaya Jepang untuk menarik perhatian massa. Pemerintahan Jepang juga terlihat berusaha—entah serius atau tidak—untuk mempromosikan budayanya yang asik dan keren ke semua negara dan semua orang. Manga dan film-film anime muncul di festival-festival budaya internasional, seperti festival Angoulême di Perancis. Popkultur Jepang semakin ‘mainstream’ dengan kemunculan judul-judul seperti BNHA, Kimetsu no Yaiba, dan SPYxFAMILY.
Di sisi lain menjadi ‘otaku’ tidak pernah nge-tren. Otaku sebagai orang-orang penyendiri dan freak masih tetap ada. Sulit juga kalau tidak melihat ngata-ngatain otaku ini seringkali diiringi sama ngata-ngatain cewek yang hobi nonton idol, dianggap maniak atau tidak bisa punya pacar, atau sekaligus mengejek orang-orang berkebutuhan khusus yang susah bersosialisasi. Intinya: ada yang memisahkan ‘orang normal’ dan ‘orang tidak normal’.
Tentu sampai sini situasi ini tidak terlalu penting, karena toh perbedaan nerd dan orang-orang normal sudah ada dari dulu. Orang-orang yang introvert dan suka baca buku sudah ada jauh sebelum orang-orang yang menonton SAO. Dalam kata-kata Otsuka Eiji, ‘ada banyak hal lain yang bisa dibahas’ daripada otaku. Semoga ia benar dan semua ini tidak penting.
Untuk topik tema yang pada awalnya terlihat tidak penting lainnya adalah ketika pada dekade 1980an dan 1990an, ibu-ibu di Amerika Serikat menganggap bahwa anak-anak mereka banyak yang ditarik untuk ritual seks bersama dengan berbagai gerakan aneh sekaligus memuja setan lewat pesan-pesan khusus di musik-musik cadas. Kalimat lucu yang mirip-mirip dengan humor absurd kontemporer ini pada zamannya betul-betul diseriusi, sampai ke panel-panel legislatif AS, pembuatan (dan percobaan pembuatan) aturan hukum agar anak-anak mereka tidak ditarik untuk upacara pemuja setan berisi posisi-posisi seks bebas yang berasal dari pesan-pesan khusus di musik-musik cadas. Orang-orang benar-benar percaya kalau lirik lagu dibalikkan, bisa terdengar kalimat seperti “Saya memuja Lucifer”
Di masa yang sama, Tsutomu Miyazaki menculik, membunuh, dan melecehkan beberapa balita sekitar Tokyo. Bapaknya bingung kenapa anaknya bisa jadi kejam seperti itu, dan media massa mendorong agar kamarnya dibuka. Dalam program TV yang dramatis, dilihatkan bahwa banyak video film horor dan majalah-majalah porno, serta paling penting, majalah-majalah dan konten yang sedang populer di kalangan otaku waktu itu.
Semua otaku kemudian menjadi calon pembunuh. Seorang pewarta berita, kemungkinan Shoji Noriko, mengatakan secara live di Comiket tahun itu: “Seperti yang bisa anda lihat, ada 100.000 kemungkinan pelaku seperti Miyazaki Tsutomu di sini!”. TBS menjalankan program berjudul “Pasukan Cadangan Miyazaki Bertambah? Brutal!! Latar Belakang dari Pembunuhan Para Anak Kecil”. Kalau anda jadi orang tua pada zaman itu dan menonton televisi, tentu langkah logis selanjutnya adalah mengecek kamar anak anda, apakah ada manga dan anime di sana. Mungkin selanjutnya anda akan bertanya apakah anak anda berencana jadi pembunuh berantai sekaligus pedofil.
Otsuka kemudian sibuk total. Sial baginya, Miyazaki punya banyak koleksi majalah tempat ia menjadi editor, dan tentu ia kemudian dibombardir pertanyaan tentang apakah melihat cewek-cewek imut di bundel tankobon membuat seseorang menjadi psikopat. Ia menghabiskan banyak waktu di media bukan untuk klarifikasi, tapi untuk mempertanyakan premis ngawur yang dilemparkan media waktu itu: apakah otaku cenderung psikopat dan kriminal?
Jawabannya jelas tidak, tapi orang-orang yang mendengarkan Black Sabbath dan Lamb of God juga jelas bukan pemuja setan. Berbeda dengan kasus Miyazaki, tidak jelas juga darimana ibu-ibu Amerika ini, beberapa di antaranya ibu politisi berkapasitas tinggi, beranggapan bahwa anak-anak mereka berpotensi menjadi anggota ritual satanik.
Jangan-jangan semua omongan aneh ini—penyuka metal adalah pemuja setan, otaku sebagai calon psikopat, atau menyukai K-Pop sebagai pertanda kegilaan—datang dari betapa ‘beda’-nya lagu-lagu dan film-film yang kita dengarkan. ‘Beda’ atau ‘tidak normal’. Tapi kalau begitu, memangnya orang-orang normal itu seperti apa?
Siapa yang normal dan siapa yang tidak? Nakamura, seorang kolumnis di majalah yang dulu diurus oleh Otsuka, sekian kali seminggu sekali kerjaannya cuma mengejek otaku yang tidak punya arahan hidup, terobsesi dengan karakter dua dimensi, tidak bisa punya pacar, tidak menjaga makanan, antara terlalu gemuk atau terlalu kurus, dan berada di dunianya sendiri.
Di satu tulisan yang benar-benar mirip parodi anggapan orang lain tentang kita, si kolumnis, Nakamura, menceritakan pengalamannya membawa pacarnya ke kafe terdekat untuk kemudian mengata-ngatai otaku yang ada di sekelilingnya. Dedikasi yang sangat mantap: orang yang menganggap dirinya normal membawa pacarnya ke orang yang ia anggap tidak normal dan tidak punya pacar, lalu mendedikasikan artikel untuk mengejek betapa tidak normalnya orang-orang yang dia lihat waktu itu. Dibayar, lagi.
Jadi, kalau menurut Nakamura, orang normal itu bisa atau memang dapat cewek, pacaran, fokus dengan ‘realita’ dan tidak terobsesi dengan ‘dua-dimensi’, dan hobi keluar rumah.
Huat Kam, beberapa dekade kemudian, dalam sekian surveinya, menemukan kalau orang-orang yang disebut otaku ini memiliki ketertarikan ke ‘dunia fiksi’ lebih dari ‘dunia nyata’. Kalau orang suka ke cewek asli, itu normal, kalau dia suka ke karakter bergambar, berarti tidak normal. Kalau ibu kamu suka Winter Sonata, itu biasa saja, kalau bapak kamu suka Morning Musume, baru aneh. Apa yang orang beli, kalau misal itu barang-barang aneh seperti figurine, set dvd blu-ray, light novel, atau photobook, berarti dia orang yang aneh.
Omong-omong soal membeli, mau di kalangan umum sampai ke peneliti yang kerjaannya meneliti popkultur, susah untuk tidak mengaitkan ‘otaku’ dengan ‘konsumerisme’. Berapa kali kita mendengar omongan tentang bagaimana barang-barang tertentu itu ‘buang-buang uang’ yang ‘bisa dipakai barang yang lain’? Bagaimanapun juga, ‘otaku’ itu jarang juga yang bapak-bapak. Pada umur tertentu kita akan ‘tobat’ dan kembali menjadi ‘manusia normal’. Susah juga melepaskan image ini kalau misalnya gundam mahal masih dijual di Kids’ Station. Mungkin setelah bertobat, kita berhenti membeli nendoroid dan doujin dari Comifuro, dan mulai membeli seperangkat alat golf yang jarang dipakai dan sepeda atletik yang bannya gembos duluan.
Jadi, selain bisa berkomunikasi dengan lancar, dapat pekerjaan yang bagus, dan dapat cewek, orang-orang ‘normal’ juga membeli barang-barang ‘normal’ dan ‘dewasa’ yang bisa dinikmati semua orang. Kebalikannya, orang-orang ‘tidak normal’ atau otaku itu jiwanya pemuda atau anak kecil, tidak mampu berkomunikasi dengan baik, sulit mendapatkan pekerjaan atau penyendiri di kantor, dan membeli barang-barang aneh seperti poster fanart Ereshkigal dari FGO dan figur stand-in Exusiai dari Arknight yang dua-duanya ada di kamar saya sekarang.
Masalahnya, saya (sepertinya) bisa berkomunikasi dan bersosialisasi biasa-biasa saja, mungkin sedikit kurang dibandingkan rata-rata, tapi tidak jelek-jelek amat. Pekerjaan, organisasi, dan kegiatan lain juga masih bisa saya dapatkan. Bedanya dengan rekan-rekan saya yang lain adalah saya punya copy fisik manga Blue Period volume 5 yang saya beli di Kinokuniya beberapa waktu silam, serta photobook dari cosplayer terkenal kesukaan saya.
Bisa dilihat kalau deskripsi orang tentang otaku ini tidak ada hubungannya dengan apa yang mereka tonton tapi bentuk badan dan sikapnya bagaimana. Otaku itu jarang mandi dan gendut, misal, tidak ada hubungannya dengan apakah dia main Genshin Impact atau tidak. Beberapa tahun terakhir orang-orang yang secara emosional bukan ‘otaku’ tapi secara kegemaran ‘otaku’ ini makin sering bermunculan, mungkin hasil keberhasilan setengah-setengah dari usaha industri Jepang serta pemerintahnya untuk memasarkan komik dan film mereka ke pasar internasional. Sekarang, orang-orang keren juga nonton Kimi no Na Wa dan pakai kaos Final Fantasy hasil beli dari Uniqlo. Orang-orang ini cakep, modis, berduit, sukses, wirausaha, sekaligus baca One Piece atau Chainsaw Man.
Otaku model ini juga bukan barang baru. Sudah sejak awal 2000an muncul interpretasi tandingan bahwa otaku itu berbeda saja dan bahkan barang-barang yang mereka baca harus dibaca semua orang. Susah juga menuduh semua otaku ini kriminal calon psikopat habis melihat Taro Aso, Perdana Menteri Jepang waktu itu, ketahuan baca Rozen Maiden di ruang tunggu bandara. Pada waktu yang sama Akihabara dipromosikan besar-besaran sebagai tempat wisata, diikuti dengan semakin banyak distribusi resmi manga-manga populer di pasar barat oleh Seven Seas dan Yen Press dan Netflix dan Disney+ berlomba-lomba mendapatkan lisensi anime-anime populer. Ditambah dengan lini busana besar seperti Uniqlo yang terus-menerus menjual kaos dan jaket bertama video game dan anime, memudar sudah asosiasi ‘otaku’ dengan orang-orang bau.
Penyebabnya toh mudah ditebak. Bagaimana caranya menjual barang ke orang-orang tertentu kalau kita terus-terus meyakinkan orang-orang ini jelek? Kalau misal semua orang jelek (baca: otaku) ini memutuskan jadi orang bagus (baca: jadi ‘normal’), terus orang jualan anime ke siapa? Kalau misal baca manga dan nonton film ‘jepang-jepangan’ jadi kegiatan keren dan populer, orang bisa bikin lebih banyak manga dan lebih banyak film anime biar penjualan semakin banyak. Untuk apa melewatkan potensi bisnis besar-besaran?
Dengan kata lain, ‘otaku’ kini juga bisa jadi ‘normal’. Karena ada kemungkinan bahwa orang-orang yang tadinya tidak jelas ini jadi jelas, maka kini orang bisa lebih banyak jualan tanpa diberi stigma bahwa tukang bikin anime adalah penyebab keterbelakangan anak muda zaman sekarang. Asal kamu tertib dan secara sosial dapat diterima, tidak ada yang salah dengan menonton anime di muka umum.
Jadi sekarang, otaku punya dua pilihan: jadi orang ‘normal’, dan mengonsumsi sekian macam program dan komik dan barang-barang turunannya, atau jadi orang-orang yang terasingkan dari masyarakat, tidak punya pacar, berlemak, bau dan susah bergerak, gampang sakit dan gampang mati.
Eiji Otsuka, yang pada awalnya bercanda saja ‘menyeriusi’ otaku dan geleng-geleng kepala melihat orang-orang serius dengan gelar akademik yang serius menyeriusi apa yang dia buat jadi bercandaan tentang otaku, kemudian merasa urusan ini jadi tidak lucu lagi. Alasannya, otaku kemudian jadi punya dua versi serius: versi pembunuh seperti Miyazaki, atau versi Cool Japan milik pemerintahan Jepang di bawah Taro Aso.
Membaca apa yang ia tulis (dan artikel-artikel lain di volume Debating Otaku in Contemporary Japan yang memicu artikel ini pertama-tama), kemudian muncul perasaan bahwa ada yang salah dengan cara kita memikirkan semua hal ini. Otsuka benar. Sampai hari ini, otaku masih jadi bulan-bulanan bahkan dalam lingkar komunitas sendiri dengan sebab-sebab sama yang ditulis Nakamura dulu: pemalu, jelek, tidak fit secara fisik, pengurung diri, tidak mampu bersosialisasi, dan tidak bisa punya pacar. Di sisi lain muncul hasil yang sangat amat diinginkan pemerintahan Jepang dan industri budaya populer-nya: orang-orang modis sosialita yang aktif berorganisasi dan mampu mendekati lawan jenis, tapi juga menikmati hal-hal yang sama dengan orang-orang jelek tadi.
Tidak ada yang menyenangkan dari pilihan ini. Pertama-tama saya dikategorikan sebagai orang jelek, kemudian saya dikategorikan sebagai orang yang tidak jelek agar orang bisa menjual barangnya ke saya. Apa yang pada awalnya dimulai dari kritik konservatif terhadap perilaku pemuda dilanjutkan dengan pemahaman pasar yang membolehkan perilaku tersebut, asalkan kita keluar uang. Tapi bagaimana jika kemudian saya ingin menjadi orang yang bisa punya pacar dan mampu public speaking, tapi tetap kritis ke pola konsumsi modern? Bagaimana jika saya mampu untuk tidak mengurung diri di kamar sekaligus menyeriusi manga yang saya baca dan mengapresiasi nilai-nilai di dalamnya seperti orang-orang menyeriusi bentuk seni kontemporer lainnya?
Otsuka dengan susah payah menyusun klarifikasi tentang bagaimana angkatan pertama otaku adalah hasil dari bekas-bekas aktivis pemuda Jepang waktu itu, di dekade 1960an akhir, para pemrotes dan pendemo, yang kemudian mendapatkan tempat baru untuk ‘melawan budaya populer’ melalui majalah-majalah yang kemudian menandakan otaku angkatan pertama, pada tahun 1970an awal dulu. Ini bukan berarti saya bilang harus lebih banyak anime yang kritis atau debut VTuber yang ‘tercerahkan’, cuma kemudian di antara orang-orang tua yang sibuk menormalkan diri dengan menganggap otaku sebagai tidak normal dan anak-anak muda yang sibuk menormalkan otaku agar bisa melebarkan bisnisnya, kita betul-betul kehilangan dari mana budaya populer berasal, dari mana karya-karya ini bisa disusun, kenapa, dan apa dampaknya.
Dengan kata lain kemudian kita terjebak dengan hal-hal yang benar-benar tidak penting seperti tips dan trik cari pacar untuk wibu atau kenapa cewek TikTok itu jelek, atau saran dari orang-orang ke normal untuk kita bagaimana caranya berpakaian seperti orang normal, atau kemarahan otaku karena merasa tidak dipahami teman-temannya yang tidak. Sebab semua omongan terjebak di ‘menormalkan’ otaku atau otaku yang membenci usaha ‘menormalkan’ ini. Alih-alih melihat konten seperti apa yang kita dapatkan dan bagaimana konten itu mencerminkan kondisi sosial sekarang, bahasan apapun tentang otaku berputar ke gaya, mode, dan konsumsi.
Padahal hubungan antara kita, dan komik serta film serta musik yang kita tonton dan dengar, dan perusahaan serta kreator yang membuatnya, serta pemerintahan yang mendukung atau menolaknya, beigtu krusial dan begitu pelik untuk memahami sekian banyak masalah yang familiar dengan anak muda sekarang. Kenapa, misalnya, beberapa judul menjadi sangat populer dan ‘normies’, sedangkan judul-judul lain tetap ‘wibu’? Apakah memungkinkan bagi otaku untuk kemudian menjadi counterculture seperti punk, misalnya, dan keanehan yang berasal dari ketidakmampuan mengurus diri berubah menjadi keanehan yang sengaja dilakukan untuk menuntut hal-hal normal?
Dengan terus-terus terjebak di ke-’normal’-an ini juga, kita jadi tidak kritis terhadap konten yang kita konsumsi. Mengapa perempuan digambarkan demikian di anime dan gim gacha? Mengapa di beberapa judul, angkatan perang Jepang waktu Perang Dunia Kedua ditampilkan sebagai protagonis? Mau normal atau tidak, orang-orang yang sekadar konsumtif tetap akan terus mengonsumsi sebagai kesenangan tanpa kapasitas untuk melihat mengapa cerita dan karakterisasi yang disajikan ke mereka dibentuk sedemikian rupa.
Dengan kata lain tidak penting kamu rapi atau tidak, punya sirkel atau tidak, punya pacar atau tidak. Yang penting adalah apakah kamu sadar serial GATE itu terang-terangan menempatkan Japan Self-Defence Forse sebagai kekuatan baik di muka bumi ini tepat bersamaan dengan usaha politik di dunia nyata untuk memperkuat peran mereka di luar Jepang?
Mungkin artikel ini bukan tentang ‘otaku’ itu sendiri, atau Miyazaki, atau Cool Japan. Artikel ini sekadar menjelaskan bagian popkultur Jepang dalam tren terkini untuk membuat semua hal yang digemari anak muda menjadi keren dan mantap dengan tetap menghilangkan unsur-unsur yang dapat mempertanyakan masalah-masalah sosial terkini.
Teringat sekian kali orang-orang yang berkata ke saya kalau anime itu bolehnya hanya untuk menyenangkan diri saja karena orang nonton anime untuk kabur dari stres dunia kerja, atau terlihat testimoni orang-orang ‘dewasa’ yang sudah ‘tidak sanggup’ lagi menonton anime karena sudah sibuk dengan urusan sehari-hari. Ajaibnya, orang-orang ini menganggap bahwa tidak ada yang salah dari dua kejadian ini. Tidak ada usaha untuk misalnya bertanya, kalau anime itu cuma boleh untuk alasan kabur dari dunia nyata, memangnya ada apa di dunia nyata yang menyebabkan orang harus kabur ke fiksi? Kalau misal orang sudah tidak mampu lagi mengalokasikan waktunya ke hal-hal menyenangkan seperti komik dan film, apa yang terjadi dengan work-life balance kita?
Menukar omong-kosong tentang keterbelakangan anak muda zaman sekarang dengan omong-kosong tentang kehebatan produksi dan konsumsi anak muda zaman sekarang, tanpa adanya sedikitpun kapasitas kritis dalam melihat kebudayaan populer yang ada di sekeliling kita, bagi saya, adalah masalah besar.
Hampir seluruh sumber akademik yang digunakan artikel ini datang dari buku Debating Otaku in Contemporary Japan: Historical Perspectives and New Horizons, diedit oleh Patrick Galbraith, Thiam Huat Kam, dan Bjorn-Ole Kamm.